Siapa yang Bohong, Siapa yang Jujur?

Siapa yang Bohong, Siapa yang Jujur?

Seseorang terlihat gelisah di antrian panjang gerbang keamanan bandara. Apakah dia hanya gugup karena harus menunggu? Ataukah orang ini sebenarnya menyembunyikan sesuatu? Bahkan petugas keamanan bandara (TSA = Transportation Security Administration) yang sangat terlatih pun kesulitan untuk mengatakan apakah seseorang berbohong atau tidak, meskipun penelitian tentang subjek ini telah berjalan sekian tahun dan menghabiskan dana milyaran dolar.

Baru-baru ini, para peneliti Universitas Rochester menggunakan ilmu data dan crowdsourcing online yang diberi nama 'FlimFlam', untuk membuat sistem screening yang dapat mendeteksi kebohongan secara lebih akurat berdasarkan isyarat wajah dan verbal. Mereka juga berharap dapat meminimalisir contoh-contoh profil berdasarkan ras dan etnik yang ada pada program SPOT (SPOT = Screening of Passengers by Observation Techniques) yang digunakan oleh petugas TSA sebelum mereka menarik keluar seseorang dari antrian dan melakukan interogasi lebih lanjut, yang akhir-akhir ini semakin banyak mendapat kritikan.

"Pada dasarnya, sistem yang kami kembangkan ini seperti Skype pada steroid," kata Tay Sen, seorang mahasiswa PhD di laboratorium Ehsan Hoque, seorang asisten profesor ilmu komputer di Rochester. Sen adalah penulis utama dari dua makalah baru yang akan dipresentasikan pada konferensi komputasi besar yang diselenggarakan oleh IEEE (Institute of Electrical and Electronics Engineers) dan ACM (Association for Computing Machinery). 

Berikut cara kerja FlimFlam: 

Dua orang mendaftar di Amazon Mechanical Turk, sebuah marketplace crowdsourcing yang menyediakan sumber daya manusia untuk pekerjaan-pekerjaan yang saat ini masih belum bisa dilakukan oleh komputer. Sebuah video menugaskan satu orang untuk menjadi pengamat dan satunya menjadi interogator.

Pengamat diminta untuk melihat gambar dan mengingat sebanyak mungkin detail dari gambar yang mereka lihat. Komputer kemudian menginstruksikan si pengamat untuk berbohong atau mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang baru saja mereka lihat. Sang interogator, yang tidak tahu instruksi apa yang diberikan kepada si pengamat, kemudian mengajukan pertanyaan kepada pengamat, di antaranya termasuk pertanyaan-pertanyaan biasa, seperti: “baju apa yang Anda kenakan kemarin?” dan “berapa 14 kali 4?”.

"Orang-orang sering kali melihat dengan cara tertentu atau menunjukkan ekspresi wajah tertentu ketika mereka mengingat sesuatu," kata Sen. "Dan ketika mereka diberi pertanyaan tertentu, mereka menunjukkan ekspresi wajah yang berbeda.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bersifat netral, dan tidak memberikan keuntungan apapun kepada si pengamat kalau mereka berbohong (jadi, tidak ada pertanyaan seperti: "apakah Anda pernah menyontek sewaktu ujian?" atau "apakah Anda pernah mencuri?"). Hal ini memberikan dasar tentang bagaimana tanggapan 'normal' dari individu tersebut ketika menjawab dengan jujur. Selain itu, tentu saja, ada pertanyaan tentang gambar yang muncul di komputer, di mana pengamat memberikan jawaban yang jujur maupun tidak jujur.

"Keuntungan dari penggunaan crowdsourcing ini adalah, para peneliti dapat mengumpulkan partisipan penelitian yang jauh lebih banyak - dan dapat mengumpulkan data jauh lebih cepat - daripada jika harus membawa partisipan ke laboratorium", kata Hoque. Sejauh ini, para peneliti telah mengumpulkan 1,3 juta frame ekspresi wajah dari 151 pasang individu yang berpartisipasi dalam simulasi FlimFLam ini.

Ilmu data memungkinkan para peneliti dengan cepat menganalisis semua data itu dengan cara baru. Misalnya, mereka menggunakan perangkat lunak analisis fitur wajah untuk mengidentifikasi dua hal; pertama: dari keseluruhan 43 otot wajah, otot mana saja yang digunakan oleh para partisipan selama proses simulasi, dan kedua: untuk menetapkan bobot numerik pada masing-masing fitur wajah tersebut.

Para peneliti kemudian memasukkan semua data ke superkomputer, menggunakan teknik pembelajaran mesin (machine learning technique) yang disebut clustering. Peneliti sama sekali tidak memasukkan kriteria atau kategori terlebih dahulu, komputer akan mencari pola sendiri.

“Komputer memberikan informasi bahwa pada dasarnya ada lima jenis 'wajah tersenyum' yang muncul dari seseorang ketika menanggapi pertanyaan,” kata Sen. "Senyuman yang paling sering dikaitkan dengan berbohong adalah senyuman Duchenne yang melibatkan kedua otot pipi, mata dan mulut, namun dalam versi yang ekstrem. Hal ini konsisten dengan teori 'Duping Delight' yang menyatakan bahwa ketika Anda membohongi seseorang, Anda cenderung menyukainya", Sen menjelaskan. 

Selain itu, ada temuan lain yang lebih mencengangkan, yakni bahwa pengamat yang jujur sering kali melakukan kontak mata, tetapi mulut mereka tidak tersenyum sama sekali. “Ketika video kami putar ulang, kami menemukan bahwa hal ini sering terjadi ketika orang mencoba mengingat detil apa yang ada di gambar,” kata Sen. "Ini menunjukkan bahwa mereka berkonsentrasi dan mencoba mengingat sebuah kebenaran."

Lalu, apakah temuan ini akan memberi petunjuk kepada para pembohong untuk mengubah ekspresi wajah mereka supaya tidak ketahuan? Hoque menjawab: "Tidak mungkin. Senyum Duchenne yang kuat yang dikaitkan dengan berbohong melibatkan otot pipi yang tidak bisa Anda kontrol. Hal itu terjadi tanpa sengaja."

Hoque juga mengungkapkan bahwa temuan ini baru sebatas 'menggores permukaan' jika dibandingkan dengan potensi yang ada pada data yang telah mereka kumpulkan. Hoque, misalnya, tertarik pada ekspresi wajah para interogator yang berhasil menebak bahwa seorang pengamat berbohong. 

Mereka menunjukkan 'senyum sopan' yang hanya nampak di mulut mereka. Seperti senyum yang sempat populer di Amerika dengan sebutan 'senyuman Pan-Am', karena merepresentasikan senyum yang setiap saat harus ditunjukkan oleh pramugari maskapai penerbangan tersebut, bahkan ketika mereka sedang kesal.

“Kami berpendapat bahwa bukan hanya orang yang berbohong yang perlu kita pelajari, tetapi juga orang-orang yang mereka bohongi. Interogator juga bisa mengungkapkan banyak informasi tanpa mereka sadari, dan temuan tersebut bisa dimanfaatkan untuk melatih petugas TSA” kata Hoque.

"Pada akhirnya, kami masih menginginkan bahwa pengambil keputusan terakhir adalah manusia, bukan mesin," kata Hoque. "Tetapi karena mereka bertugas untuk menginterogasi penumpang, kita perlu membekali mereka dengan beberapa standar obyektif yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum mengambil keputusan."

---

(sumber: Futurity | sumber gambar: Flickr, Shutterstock, Pixabay, & My AJC)

Comments (0)

There are no comments posted here yet

Leave your comments

Posting comment as a guest.
Attachments (0 / 3)
Share Your Location