Erosi Mengancam Ketahanan Pangan Dunia

Erosi Mengancam Ketahanan Pangan Dunia

“Erosi tanah secara global telah mencapai tahap kritis yang akan membuat manusia tidak mampu memberi makan dirinya sendiri, jika tidak ada upaya untuk mengatasinya,” demikian peringatan yang tertulis dalam sebuah kajian yang diterbitkan di jurnal Science edisi bulan Mei 2015, dua tahun lalu. 

Kajian tersebut mengungkapkan bahwa di berbagai belahan dunia, tanah telah terkikis dalam waktu yang sangat cepat, lebih cepat daripada proses pembentukannya secara alami. Selain itu, lahan pertanian juga mengalami berbagai tekanan berat yang berasal dari penggunaan lahan untuk tanaman non-makanan (seperti: tanaman untuk biofuel), sehingga di masa depan batuan fosfat yang digunakan untuk membuat pupuk bisa jadi akan berkurang. 

"Peningkatan produksi pangan di negara-negara maju mengalami kemandekan," kata Ronald Amundson, seorang ilmuwan tanah di University of California, Berkeley, Amerika Serikat, yang juga salah satu penulis dalam penelitian tersebut. "Ada peluang untuk meningkatkan produksi pangan di negara-negara yang kurang maju, namun inisiatif ini akan membutuhkan dana besar untuk membeli pupuk, demi mendapatkan hasil yang diharapkan.” 

Fosfor yang dibutuhkan untuk membuat pupuk dibuat dengan cara ditambang. Menurut kajian tersebut, bahan baku ini harganya semakin tinggi; sehingga memicu kekhawatiran tentang ketersediaan pupuk anorganik bagi petani di negara-negara berkembang. 

Para penulis kajian ini mengatakan bahwa, alih-alih hanya mengandalkan pupuk untuk meningkatkan hasil pertanian konvensional, distribusi makanan dan nutrisi yang lebih efisien diperlukan untuk mengakhiri kelaparan. Hal ini merupakan salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG/Sustainable Development Goals) yang diusulkan oleh PBB.

Erosi tanah disebabkan oleh terlalu banyaknya penggunaan lahan, penggundulan hutan, penggurunan, dan limpasan air, yang semuanya disebabkan oleh pertanian. Makalah ini muncul karena banyak ilmuwan merasa khawatir bahwa target perlindungan tanah dalam draft SDG memiliki kemungkinan untuk dihapus dari daftar tujuan SDG.

Sejak dimulainya International Year of Soils (Tahun Tanah Internasional) bulan Januari tahun 2015, para ilmuwan telah meminta fokus politik yang lebih besar pada pengelolaan tanah. Tim Benton, ahli ekologi populasi di University of Leeds, Inggris, mengatakan bahwa pengelolaan tanah yang lebih baik akan mampu menghasilkan makanan yang cukup di masa depan. "Saya pikir, kita belum benar-benar serius dalam upaya pelestarian sumber daya tanah dalam jangka panjang," katanya. 

Dalam sistem pertanian tradisional, produksi pangan dapat ditingkatkan dengan menggunakan berbagai teknik untuk mengurangi erosi tanah, demikian diungkapkan oleh Rattan Lal, ilmuwan tanah di The Ohio State University, Amerika Serikat. Petani sebenarnya dapat melestarikan tanah mereka melalui metode agroforestri atau dengan cara menutupi tanah dengan sisa tanaman.

Namun demikian, beralih ke metode semacam itu merupakan sebuah keputusan besar, karena metode ini lebih padat karya dan kurang efisien secara ekonomi, mengingat masih banyaknya petani yang mengerjakan lahan pertaniannya hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka saja, sehingga hasilnya pun hanya bisa dimanfaatkan untuk dimakan sendiri, untuk makanan ternak, dan untuk bahan bangunan. 

Menurut Lal, sekitar 500 juta petani di seluruh dunia bergantung pada lahan pertanian dengan luas kurang dari dua hektar. Jika pengelolaan tanah dimasukkan ke dalam agenda global untuk mengatasi perubahan iklim dan kekurangan pangan, banyak yang bisa dilakukan untuk membantu dua miliar 'orang kelaparan yang tidak terdeteksi’, yakni orang-orang yang tidak mendapatkan asupan nutrisi yang cukup dalam makanan mereka setiap harinya.

---

(sumber: SciDevNet | sumber gambar: Pixabay)

Comments (0)

There are no comments posted here yet

Leave your comments

Posting comment as a guest.
Attachments (0 / 3)
Share Your Location