ChuChu, Produsen Kerajinan dari Sampah

ChuChu, Produsen Kerajinan dari Sampah

Sampah plastik merupakan salah satu masalah lingkungan terbesar di dunia. Lebih dari 100 tahun setelah penemuan plastik, kita seolah jadi kecanduan plastik. Tiada hari tanpa plastik. Dengan adanya plastik, hidup jadi lebih murah, lebih cepat, dan lebih mudah. Satu abad sejak plastik mulai diproduksi dan dikonsumsi secara tidak terkendali, kenyamanan ini telah berubah menjadi krisis.

 Salah satu dari ribuan kota yang menjadi 'korban' plastik adalah Yangon, ibukota Myanmar. Sejak dibukanya keran ekonomi Myanmar, negara yang berkembang pesat ini mengalami ledakan populasi dan konsumerisme, tetapi belum memiliki infrastruktur yang cukup untuk mendukung pertumbuhan itu. Tidak adanya tempat pembuangan limbah di banyak wilayah, menyebabkan warganya terbiasa membuang atau membakar sampah plastik seenaknya. Selain itu, kurangnya pendidikan tentang lingkungan membuat penerimaan masyarakat terhadap proses dan produk daur ulang serta praktik pengurangan limbah masih rendah.

(Timbunan sampah di kota Dala)

Yangon menghasilkan 2.800 ton sampah setiap hari. Sebagian besar sampah berakhir di jalan-jalan dan di saluran air, termasuk di sungai yang memisahkan ibukota Yangon dengan kota di sebelahnya: Dala. Di Dala, sampah ada di mana-mana, ditumpuk di pinggir jalan, mengambang di air keruh dan berserakan di atas tanah. Situasi inilah yang mendorong lahirnya Chu Chu Design, sebuah inisiatif untuk mengubah sampah menjadi produk kerajinan ramah lingkungan sekaligus menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Dala yang berpenghasilan rendah.

Chu Chu Design awalnya adalah proyek berjangka waktu tiga tahun dari Cesvi, organisasi nirlaba Italia yang bergerak dalam bidang konservasi lingkungan dan pemberantasan kemiskinan melalui pembangunan berkelanjutan. Proyek ini didanai oleh Uni Eropa. Setelah proyek berakhir pada 2016, inisiatif ini terus bergulir menjadi bisnis mandiri yang mengajarkan kepada masyarakat bagaimana mendaur ulang sampah menjadi kerajinan yang dapat dipasarkan, sehingga dapat dijadikan sumber penghasilan bagi para pengrajinnya.

 

(Berbagai produk kerajinan dari ChuChu Design)

Kantong kopi yang dianyam menjadi keranjang, ban bekas yang diubah menjadi ikat pinggang, dompet dari kantong keripik kentang, gelas anggur dari botol, dan sampul laptop dari kantong semen hanyalah beberapa contoh dari sekitar 60 produk ChuChu Design. Sampah yang dijadikan bahan kerajinan biasanya berasal dari pengumpul sampah dan pasar grosir pusat kota atau dari penduduk setempat yang dibayar untuk mengumpulkan sampah dari tepi jalan. 

"Kami mencoba mengubah cara berpikir orang-orang, bahwa barang-barang daur ulang adalah barang yang sudah usang dan kotor," jelas relawan dan desainer produk asal Kanada, Debra Martyn. "Kami mencoba untuk membuat barang-barang yang berkualitas bagus, dikembangkan dengan baik, dirancang dengan baik dan indah - dan berubah wajah menjadi sesuatu yang berguna."

(Showroom dan workshop ChuChu Design)

Untuk mempromosikan produk dan pesan mereka, managing director Wendy Neampui dan Friedor Jeske merancang dan membangun sebuah workshop dan showroom yang sebagian besar terbuat dari bahan daur ulang. Toko ChuChu Design di Dala (tak jauh dari keramaian pusat kota Yangon) memamerkan potensi upcycling sejak dari bentuk bangunannya yang terbuat dari botol-botol yang tertanam di dinding dan ban bekas yang dijadikan pagar.

"Kami ingin menciptakan peluang kerja bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah," kata Wendy Neampui. "Sekarang ini, ada tiga puluh orang yang bekerja di sini, tetapi tidak semuanya dari Dala. Beberapa dari mereka berasal dari Mwambi atau dari luar Yangon." Penduduk Dala yang bekerja untuk ChuChu Design dibayar 1.000 kyat (10.500 Rupiah) per jam untuk mengubah sampah menjadi kerajinan. Setiap proses dilakukan secara manual, dari memilih bagian yang dapat digunakan, membersihkan, dan membuat produk yang artistik dan ramah lingkungan.

 

(Ban bekas yang diolah menjadi ikat pinggang)

Friedor Jeske menambahkan: "Butuh waktu enam bulan untuk menentukan cara terbaik untuk mendaur ulang sampah. Di awal proyek, Chu Chu memberikan insentif kepada para pengrajin yang pertama bergabung dengan membeli apa pun barang yang mereka buat. Sekarang para pengrajin telah mampu melakukannya secara mandiri."

“Kami mengajari mereka cara membuat desain di sini, kemudian mereka membuat produknya di rumah. Dua kali seminggu (Kamis dan Sabtu) kami bertemu di sini untuk membahas ide-ide baru, dan memeriksa produk yang mereka buat di rumah. Sebelum dijual, kami koreksi dulu harganya, biasanya perhitungan harga didasarkan pada berapa lama mereka mengerjakan produk tersebut. Kami menjual produk ke toko-toko biasa, ke pelanggan, serta di bazaar yang digelar tiap akhir pekan di Yangon”, lanjut Wendy.

 

(Ban bekas yang diolah menjadi ikat pinggang)

Workshop di belakang showroom dipenuhi dengan bahan mentah, dari tumpukan ban dalam sepeda motor hingga kantong plastik besar dengan berbagai warna. Kantong plastik adalah bahan baku yang paling banyak digunakan di ChuChu Design. Pengrajin memotong plastik dengan warna yang berbeda kemudian menyatukan potongan-potongan tersebut menjadi lembaran besar menggunakan mesin. Lembaran bermotif warna-warni tersebut digunakan untuk membuat dompet, kotak pensil, keranjang cucian dan produk lainnya tanpa perlu dicat lagi. Mereka juga bereksperimen dengan material baru yang mereka kumpulkan dari tempat sampah. Wendy bahkan menciptakan pakaian tradisional Myanmar menggunakan campuran kain katun dan plastik daur ulang dan menenunnya dengan alat tenun.

(Plastik berwarna-warni yang disambung-sambung untuk dijadikan bahan kerajinan)

(Plastik dan kain yang ditenun sebagai bahan pakaian tradisional Myanmar)

Wendy dan Jeske tidak yakin bahwa ChuChu Design akan bisa mengubah persepsi masyarakat secara dramatis. “Masyarakat lokal tidak pernah membeli produk ini karena mereka tahu produk ini terbuat dari sampah. Mereka akan membeli barang yang bertuliskan ‘made in Thailand’ dan ‘made in China’, dan tidak bisa menerima kenapa harus membayar untuk sesuatu yang terbuat dari sampah.” kata Wendy, merujuk pada stigma sosial tentang produk daur ulang. “Hanya orang asing yang tertarik dengan kerajinan daur ulang ini dan membelinya." 

(Wendy Neampui, manajer ChuChu Design)

Mereka pun tidak terlalu berharap bahwa inisiatif ini akan membuat masyarakat tidak lagi membuang sampah sembarangan, atau bahwa setelah ini akan bermunculan rumah-rumah yang terbuat dari botol dan ban bekas. Inisiatif ini memang masih sebatas pernyataan sikap, bukan solusi. Tetapi mereka punya harapan, setidaknya proyek ini akan mampu menyebarkan kesadaran kepada masyarakat secara bertahap untuk memanfaatkan sumber daya yang terbuang, dan berpikir dua kali tentang sampah yang mereka buang.

---

(dirangkum dari: Inhabitat, Phys, Frontier Myanmar, Channel News Asia, & Myanmore

Catatan Redaksi:

Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik" . Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.

Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.

 

Comments (0)

There are no comments posted here yet

Leave your comments

Posting comment as a guest.
Attachments (0 / 3)
Share Your Location