Betapa anehnya peradaban manusia yang berkaitan dengan plastik. Kita menemukan cara memproduksi bahan yang tahan lama, yaitu plastik, tetapi memanfaatkan penemuan tersebut untuk membuat barang-barang yang hanya dipakai sekali saja; seperti tas belanja yang hanya kita pakai untuk membawa barang belanjaan dari supermarket ke rumah lalu dibuang, atau butiran scrub yang kita pakai untuk membersihkan wajah dan badan kemudian dibasuh dengan air.
Setelah kita gunakan dalam waktu yang sangat singkat, kita membiarkan barang-barang plastik tersebut terbuang dan akhirnya terkumpul di lautan.
Setiap tahun, manusia membuang 13 juta ton plastik ke lautan. Sebagian dari plastik tersebut sejak awal sudah dibuat dalam bentuk partikel-partikel kecil, seperti butiran microbeads yang ada pada scrub wajah atau badan dan pasta gigi. Plastik lainnya dibuat dalam ukuran yang lebih besar, yang kemudian terpecah menjadi kepingan-kepingan kecil melalui proses mekanis atau kimiawi.
Meskipun perkiraan para ilmuwan tentang jumlah plastik di laut bervariasi, tetapi tidak ada keraguan bahwa saat ini jumlahnya sangat besar. Menurut sebuah penelitian yang dirilis tahun 2014, terdapat lebih dari 5 triliun potongan plastik di laut, dan 92 persen di antaranya adalah mikroplastik yang berukuran kurang dari lima milimeter.
Sebagaimana kata pepatah: "Siapa yang menanam, dia yang akan menuai", demikian juga rupanya yang terjadi pada mikroplastik. Setelah dibuang ke lautan, mereka akan kembali menghampiri manusia dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling sederhana adalah melalui rantai makanan. Organisme laut yang berukuran kecil dimakan oleh binatang laut lainnya yang lebih besar, kemudian dimakan oleh ikan, yang akhirnya dimakan oleh manusia di seluruh dunia.
Ternyata bukan hanya itu cara mikroplastik kembali kepada manusia yang membuangnya. Setidaknya ada dua studi yang menunjukkan kepada kita tentang kontaminasi plastik dalam makanan tanpa melalui ikan. Pada tahun 2015, sebuah tim yang melakukan penelitian tentang garam di China menemukan adanya plastik dalam garam yang dibeli di supermarket. Kemungkinannya, plastik semacam ini bisa saja ditemukan di tempat lain.
Ternyata prediksi tersebut benar-benar terjadi, seperti yang diungkapkan dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan oleh jurnal Scientific Report, April 2017 lalu.
Ahli toksikologi air Ali Karami dan timnya dari Universiti Putra Malaysia mengekstraksi belasan merek garam laut dari delapan negara yang berbeda: Australia, Perancis, Iran, Jepang, Malaysia, Selandia Baru, Portugal, dan Afrika Selatan, untuk melihat apakah mereka dapat mengidentifikasi partikel asing di dalamnya.
Dari hasil penelitian di laboratorium, mikroplastik ditemukan pada semua garam, kecuali garam dari Perancis. Dari 72 partikel yang diekstrak, mereka menemukan bahwa 41,6 persennya adalah polimer plastik, 23,6 persennya adalah pigmen (yang sebelumnya juga pernah menjadi plastik), 5,50 persen karbon amorf, dan 29,1 persennya merupakan partikel tak dikenal. Partikel yang tidak teridentifikasi tersebut kemungkinan tidak dapat ditentukan jenisnya karena telah terdegradasi akibat cahaya, proses pelapukan atau faktor lainnya.
Ditemukannya berbagai jenis partikel plastik dalam garam setelah dilakukan ekstraksi secara kimiawi menunjukkan bahwa yang terkontaminasi adalah air lautnya, dan bukan proses produksi garamnya.
Ahli sirkulasi lautan global dan polusi plastik, Erik van Sebille dari Universitas Utrecht di Belanda mengatakan bahwa temuan itu mengejutkan sekaligus tidak mengejutkan. “Selama beberapa tahun terakhir, setiap kali para ilmuwan mencari plastik di lautan, mereka hampir selalu menemukannya; baik di dasar lautan yang terpencil, di sekitar Kutub Utara, di perut burung laut dan ikan, dan sekarang di garam laut. Plastik di laut adalah bukti dari kekejaman dan kebiasaan manusia yang jorok," tambahnya.
(Burung laut yang ditemukan mati di Midway Atoll, Hawaii, dengan perut penuh berisi sampah plastik)
Meskipun temuan kadar kontaminan tersebut masih cukup kecil dan dampaknya terhadap kesehatan masih bisa diabaikan, namun dengan mempertimbangkan fakta bahwa garam laut bukan satu-satunya kendaraan yang digunakan mikroplastik untuk memasuki makanan kita, Karami memperingatkan bahwa dosis kecil kontaminan yang berasal dari berbagai sumber kemungkinan bisa membuat mikroplastik yang memasuki makanan kita terakumulasi hingga mencapai jumlah yang membahayakan kesehatan.
---
(dirangkum dari: Inhabitat, Quartz, & Nature | sumber gambar: Pixabay, The Atlantic, & ReuseThisBag)
Catatan Redaksi:
Tanggal 5 Juni ditetapkan oleh PBB sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sejak tahun 1974, dan tema tahun ini adalah "Melawan Limbah Plastik". Dalam pesannya, Sekjen PBB António Guterres menegaskan agar kita semua menolak penggunaan barang-barang plastik sekali pakai, dan mengingatkan tentang jumlah limbah plastik yang semakin tidak terkendali. "Setiap tahun, lebih dari delapan juta ton limbah plastik berakhir di lautan," demikian pesannya.
Dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia, mulai 5 Juni 2018, BICNETS akan menampilkan 8 tulisan bertema lingkungan. Enam di antaranya bertema plastik, dan 2 lainnya menampilkan tema lingkungan lainnya.
Comments (0)