Pengantar:
Rabu lalu, 23 Mei 2018, jurnal Science Advanced menerbitkan sebuah tulisan yang cukup fenomenal dan dikutip oleh puluhan media pada hari yang sama. Tulisan tersebut mengungkapkan bahwa konsentrasi CO2 yang semakin meningkat di atmosfer bumi menyebabkan beras kehilangan nutrisi yang dikandungnya. Tulisan ini merupakan bagian kedua dari 2 tulisan. Bagian 1 dapat dibaca di: Balada Beras (1): Berita Buruk.
---
Alternatif Solusi
Dalam rangka mengurangi atau meniadakan risiko turunnya nutrisi beras, para peneliti mencoba menguraikan beberapa alternatif solusi potensial berikut:
Pertama: Pembiakan strain baru yang tahan terhadap perubahan iklim. Beberapa negara atau institusi mungkin harus mulai melakukan pemuliaan tanaman secara tradisional atau merekayasa varietas padi secara genetik, sehingga tetap bergizi pada tingkat karbon dioksida yang lebih tinggi. Contoh yang paling terkenal adalah beras emas, yang dimodifikasi secara genetika untuk menghasilkan lebih banyak vitamin A. Tetapi solusi seperti ini sangat menghabiskan waktu dan dana, apalagi saat ini kita belum memiliki kultivar padi yang mampu menggantikan semua nutrisi yang hilang karena peningkatan CO2.
(Beras Emas)
Salah satu contoh lain adalah inisiatif HarvestPlus yang mencoba menciptakan varietas tanaman baru yang mengandung kadar nutrisi yang lebih tinggi melalui pemuliaan tanaman. Inisiatif ini telah berhasil menciptakan varietas beras dan gandum yang tinggi kadar seng-nya. Tetapi Michael Grusak, seorang peneliti dari Pusat Penelitian Gizi Anak-Anak Departemen Pertanian AS di Houston, mengatakan: "Cukup sulit untuk meningkatkan kadar nutrisi terutama zat besi pada tanaman tertentu. Jika peningkatan CO2 atau proses perubahan iklim lainnya tetap berjalan, berarti kami harus bekerja lebih keras untuk menaikkan level ini".
Kedua: Menyuplai tanah dengan nutrisi yang diperlukan melalui aplikasi pupuk mineral atau melakukan fortifikasi pasca panen. Sayangnya alternatif ini memiliki konsekuensi pada bertambahnya biaya dan energi yang dibutuhkan, dan memaksa petani untuk berinvestasi lebih banyak dari waktu ke waktu, mulai dari pengolahan tanah, penanaman benih hingga setelah padi dipanen.
Ketiga: Memperkenalkan makanan pokok baru selain beras. Solusi ini juga memiliki kelemahan fundamental, karena mengubah makanan pokok tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Lisa Ainsworth, seorang ahli biologi di University of Illinois Urbana-Champaign dan Departemen Pertanian AS (bukan anggota tim peneliti) memberikan tanggapan: "Membuat orang beralih dari beras ke biji-bijian baru tidak selalu mudah. Saya pikir secara kultural itu sulit, karena orang cenderung menggunakan jenis beras yang berbeda untuk makanan yang berbeda atau pada acara yang berbeda."
Kita sebagai orang Asia sangat familiar dengan hal ini. Masyarakat Asia memiliki berbagai upacara dengan macam-macam hidangan yang dibuat dari jenis beras yang berbeda. Jika beras harus diganti dengan biji-bijian lain, bagaimana nasib hidangan upacara selanjutnya?
Keempat: Memperkenalkan pola makan baru dengan mengurangi porsi beras, dan menggantinya dengan makanan yang berbeda (dengan kata lain: mengurangi nasi tapi menambah lauknya). Tentu saja hal ini sangat sulit dilakukan oleh kaum miskin dan/atau penduduk negara miskin. Negara-negara yang mulai meninggalkan beras sebagai pemasok kalori utama mereka, seperti Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Jepang, mampu melakukannya karena negara tersebut telah berubah menjadi negara maju.
Sebagai contoh: pada tahun 1959, orang Jepang mendapatkan 62 persen kalori dari beras. Jumlah tersebut turun menjadi 40 persen pada tahun 1976, dan sekarang beras hanya menyumbangkan kurang dari 20 persen kalori di makanan orang Jepang. “Ketika negara Anda mampu meningkatkan PDB secara keseluruhan, makanan Anda juga cenderung lebih beragam, yang nantinya akan memengaruhi apakah Anda terkena dampak perubahan nutrisi pada beras ini atau tidak,” jelas Ziska.
Kelima: Mengurangi jumlah emisi karbon dioksida. Ini seharusnya sudah dilakukan sejak detik ini juga. Andai saja cita-cita untuk menurunkan emisi gas rumah kaca menjadi 80% di bawah tingkat tahun 1990 benar-benar terwujud, niscaya penurunan nutrisi beras seperti yang disimulasikan dalam penelitian ini tidak akan terjadi.
Angin Segar
Sehari sesudah penelitian ini dipublikasikan, ada semilir angin segar berhembus. Sebuah berita yang dirilis oleh The Jakarta Post mengungkap bahwa dua profesor diaspora Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat telah menemukan kultivar padi protein tinggi non-transgenik yang memiliki kandungan protein sekitar 50 persen lebih banyak daripada beras biasa. Mereka adalah Herry Utomo dan Ida Wenefrida Utomo, keduanya profesor di Louisiana State University.
Proyek pengembangan kultivar padi komersial tinggi protein ini mulai dikembangkan di Louisiana State University Agricultural Center H. Rouse Caffey Rice Research Station pada tahun 2005. Dengan nama 'Frontière', jenis ini merupakan kultivar beras tinggi protein pertama yang dikembangkan untuk aplikasi komersial di seluruh dunia.
(Ida Wenefrida Utomo)
Setelah melalui proses yang panjang, kultivar ini resmi dirilis pada tahun 2017. Frontière telah memiliki sertifikat perlindungan varietas tanaman yang dikeluarkan oleh Departemen Pertanian AS, dan hak patennya telah terdaftar di Kantor Paten dan Merek Dagang AS atau The United States Patent and Trademark Office (USPTO).
Frontière mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan di beberapa daerah pertanian di AS. Di semua lokasi uji coba yang terdapat di Louisiana, di lahan pembibitan LSU AgCenter Puerto Rico, maupun di lahan produksi di Illinois, hasil panen Frontière secara konsisten menunjukkan kandungan protein yang lebih tinggi. Beras ini sudah dipasarkan dengan nama dagang 'Cahokia' yang diambil dari nama salah satu suku Amerika asli (Indian).
(Beras Cahokia)
Blake Gerard, petani lokal Illinois yang telah berkecimpung dalam dunia pertanian padi selama 18 tahun dan menjadi mitra dalam pembudidayaan serta pemasaran Cahokia mengaku amat puas dengan beras ini. "Kami sekarang sedang memanen Cahokia untuk yang kelima kalinya. Hasilnya bagus, dan kandungan proteinnya pun konsisten," ujarnya.
Selain mengandung protein tinggi, kadar karbohidrat di beras Cahokia pada dasarnya tidak berubah. Cahokia memiliki indeks glisemik (IG) yang lebih rendah dibanding beras lain pada umumnya. Karbohidrat dari beras Cahokia berubah menjadi gula lebih lambat daripada beras biasa sehingga bagi para penderita diabetes, beras dengan IG lebih rendah seperti Cahokia lebih aman untuk dikonsumsi.
(Kandungan nutrisi beras Cahokia)
Tidak ada perubahan teknis dalam budidaya padi berkadar protein tinggi ini. Artinya, "Tanpa mengeluarkan biaya tambahan, dari setiap satu hektare lahan yang ditanami Cahokia akan diperoleh 150 kilogram ekstra protein murni," kata Herry Utomo. Protein tambahan ini setara dengan 550 kilogram daging atau 4.500 liter susu.
Dengan total areal produksi beras AS sebesar 1,8 juta hektare, maka padi berkadar protein tinggi ini akan menghasilkan tambahan 0.23 juta ton protein murni setiap kali tanam. Untuk Indonesia yang luas lahan pertaniannya 4,5 kali lipat AS, potensi tambahan protein bisa mencapai 1 juta ton protein murni yang setara dengan 3,6 juta ton daging. Ini semua bisa didapatkan tanpa mengeluarkan biaya tambahan dan tanpa harus melakukan perubahan dalam cara budidayanya.
Meskipun saat ini beras tersebut memang baru dipasarkan di pasar swalayan di AS saja, namun Herry menyatakan bahwa ada kemungkinan beras yang ditujukan untuk mengatasi gizi buruk ini bakal masuk juga ke Indonesia. Herry bahkan mengungkapkan pihaknya kini tengah mengupayakan Beras Cahokia untuk bisa masuk ke Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika atau United States Agency for International Development (USAID). "Mudah-mudahan beras ini bisa digunakan sebagai bantuan untuk penduduk yang tidak terbatas di Indonesia saja, tapi juga negara lain yang rawan pangan dan kurang gizi," tambahnya.
Berita ini cukup melegakan, karena sebelum kadar protein beras benar-benar menurun gara-gara emisi CO2, sudah ada temuan baru untuk meningkatkannya. Akan lebih bagus lagi jika setelah ini ada lagi temuan kultivar padi baru yang lebih tinggi kadar seng, zat besi, dan vitamin B-nya, sehingga andaikan prediksi tentang peningkatan CO2 itu benar-benar terjadi, setidaknya nutrisi yang bakal turun adalah nutrisi yang telah ditingkatkan sebelumnya.
---
Referensi:
- Higher CO2 levels may lead to decreased nutrients in rice (Inhabitat)
- Climate change 'will make rice less nutritious' (The Guardians)
- How More Carbon Dioxide Can Make Food Less Nutritious (The New York Times)
- Planet-Warming Gases Make Some Food Less Nutritious, Study Says (VOA News)
- Climate change is robbing rice of its nutrition (United Press International)
- Food for billions of people may become less nutritious due to climate change (Daily News)
- A Warming Planet Could Zap Nutrition From Rice That Feeds The World (National Public Radio)
- As CO2 Levels Rise, Rice Becomes Less Nutritious (Scientific American)
- Increasing CO2 levels reduce rice's nutritional value (UW Medicine Newsroom)
- As CO2 increases, rice loses B vitamins and other nutrients (ScienceNews)
- Study claims climate change is having a 'devastating' effect on the nutrition of rice (National Post)
- High CO2 Levels Make Rice Less Nutritious, Study Finds (EcoWatch)
- Climate Change Will Make Rice Less Healthy in Years to Come: Report (Global Citizen)
- The carbon dioxide we pump into the atmosphere is making our food less nutritious (Quartz)
- The weird power of rising carbon dioxide to make rice less nutritious (Vox)
- Greenhouse Gases Leave This Staple Crop At Risk For Diminished Nutrition (INQUISITR)
- Rice May Be Getting Less Nutritious—Here's Why (CookingLight)
- Indonesian diaspora professors in the US invent protein-rich rice (The Jakarta Post)
- Frontière, High-Protein Rice Cultivar (LSU AgCenter)
- Diaspora Indonesia menciptakan beras berprotein tinggi (Antara Yogya)
- Beras Berprotein Tinggi Segera Masuk Indonesia? (Warta Ekonomi)
- The global staple (Ricepedia)
- Climate Change, Rice and Asian Agriculture: 12 Things to Know (Asian Development Bank)
Comments (0)